Tuesday, July 22, 2008
Sejauh Apa Peranan Guru di Sekolah ?
pak post
Paguyuban Anak Ponorogo
saat pukul
11:24 PM
Dasar anak goblok ! (red:dasar anak bodoh) membuat kegiatan seperti ini tidak bisa, kalau aku sih kecil kerjaan ini tidak butuh waktu yang lama untuk menyelesaikanya, kalian yang punya personil banyak sampai sekarang belum beres-beres ,makanya pakek otak dong….!
Salah satu kalimat yang keluar dari mulut seorang Pembina kami. Salah seorang guru yang lumayan dihormati di sekolah ini.Tapi menurutku bukan kata-kata “Goblok” yang menyakitkan bagi kami. Kalimat “Kalau aku sih kecil untuk melakukan pekerjaan ini”. Kalimat inilah yang terasa begitu menyakitkan karena seolah-olah apa yang kita kerjakan selama ini tidak ada harganya sama sekali dihadapan beliau. Kalau dilihat tingkat intelektual kami yang masih dini, hasil yang kita dapati sudah sangat memuaskan. Tentunya tidak akan bisa disamakan dengan beliau yang sudah mempunyai tingkat intelektual jauh diatas kami.Bahkan ketika rapat koordinasi sebuah kegiatan yang sebentar lagi akan diselenggarakan di sekolah kami sebagai perayaan HUT sekolahku. Kegiatan ini merupakan gabungan panitia dari guru dengan panitia anak OSIS.
Saat itu dengan cuaca yang sangat panas karena matahari tepat diatas ruangan tempat kami rapat.AC pun serasa tidak mampu mendinginkan ruangan.Selain itu perdebatan-perdebatan kecilpun sering terjadi ketika rapat tersebut berlangsung.Hingga kalimat itu keluar dari mulut presidium rapat yang mampu membungkam mulut kami dengan seketika. Pandangan dan tatapan mata kami kosong menerawang dan menatap Beliau yang ada di depan,hati kami bagaikan teriris-iris setelah mendengar kalimat itu. Semangat kami yang membara bagaikan api yang membakar kayu bakar yang takkan pernah padam terus membara.Tapi sayang semua ini tinggal kenangan perjuangan yang selama Ini kami agunu-agungkan.Yang kami banggakan telah sirna dalam sekejap, hanya rasa kecewa yang kami rasakan sekarang.Tapi dengan penuh rasa hormat kami pun ikuti perintah Beliau walaupun hati kami sebenarnya menolak. Padahal ketika OSIS menggelar kegiatan yang lumayan cukup besar untuk ukuran Kab. Ini, kondisi dikepanitiaan siswa tidak serumit ketika bergabung dengan panitia Guru. Ketika kegiatan sepenuhnya dihendel dari siswa, kami bisa mengeksploritasi dan mengembangkan kreasi kami tanpa ada beban berurusan dengan pihak selain panitia siswa.
Cerita di atas merupakan sedikit gambaran kekerasan yang terjadi dalam pendidikan, kekerasan yang dilakukan bukan secara fisik tapi kekerasan perasaan yang dilakukan oleh guru kepada siswa dalam kegiatan kesiswaan. Ironis memang seharusnya siswa diberi kebebasan untuk mengeksplor kreatifitas dan berekspresi sesuai dengan daya pikir dan kehendak siswa yang mereka inginkan Tapi, ketika guru ikut turun tangan seakan-akan kelihatan bahwa guru masih menyetir pikiran siswa. Padahal porsi mereka adalah sebagai panitia pendamping siswa, dan bukan menggantikan kepanitiaan siswa.Porsi yang seperti inilah yang saya anggap menyalahi aturan karena pada akhirnya bukan penyelesaian masalah yang didapat siswa tapi masalah baru dengan panitia pendampinglah yang didapat siswa. Bukankah ini membuat siswa menjadi tidak fokus pada kegiatan yang sedang dikelolanya.
( “Memainkan alat seperti ini sangat mudah bagiku, tidak perlu mengadakan kegiatan pelatihan yang 2 hari itu” ) Kalimat semacam inilah yang justru sangat mudah mematahkan semangat dari anak, karena mental anak masih mudah turun (down) serta minder. Padahal ketika ketika itu kami sedang serius-seriusnya latihan untuk menyiapkan pentas seni. Kalimat tersebut memang tidak kasar tapi bila dicermati kalimat inilah yang mematikan kreatifitas anak. Karena, tentunya memang beda tingkat kemampuan anak dengan orang dewasa. Kita misalkan Orang dewasa tidak akan langsung bisa tapi butuh proses menuju kemampuannya yang sekarang ini. Anak pun sama, untuk bisa berbicara lancar saja mereka melalui suatu tahapan satu demi satu. Melihat keseriusan masalah tersebut seharusnya anak patut kecewa, kondisi anak yang sudah mati-matian mengelola kegiatan yang menjadi komitmen bersama justru cercaan yang didapat. Memang kesadaran mengenai hak-hak anak dikalangan sekolah masih rendah bahkan masih banyak guru yang belum mengetahui tentang hak-hak anak dan keberadaan UUPA, bahkan diskriminasi pun sering terjadi di sekolah-sekolah . Sehingga menimbulkan rasa iri dan cemburu. Selain itu sering dijadikanya anak sebagai pelemparan kesalahan masih sering terjadi dilingkungan sekolah. Salah satu contohnya : disebuah kegiatan yang mengikutsertakan siswa dalam kepanitianya, Keterlambatan datangnya snack untuk konsumsi undangan, siswalah yang disalahkan. Padahal dari awal kami ketahui bahwa gurulah yang mengurusnya mulai dari pemesananan jenis snack dan jumlahnya.
Kejadian sepele seperti ini bisa menyebabkan orang-orang dewasa (guru) gagal dalam mengapresiasikan anak sebagai harapan bangsa dan memperlakukan anak sebagai objek dalam kehidupan sebagai pembantu dan patut dipersalahkan. Sebagai tempat pelampiasan ketidak puasan terhadap suatu kegiatan. Ya… haruslah kita maklumi bahwa banyak sekali kekerasan di Sekolah yang dilakukan oleh guru dengan cara halus. Dan kita ketahui bersama bahwa lembaga-lembaga nasional yang dibuat dan didirikan untuk melindungi hak anak-anak sekolah (pelajar) dan memperjuangkan nasib mereka, masih dapat dikatakan berjalan kurang maksimal. Hal ini bisa disebabkan karena minimnya sosialisasi tentang hak-hak anak. Bahkan dilingkungan pendidikan sendiri masih minim informasi tentang hal ini. Sehingga terjadilah kejadian-kejadian yang tidak memberikan rasa nyaman pada siswa semacam ini. Dan kenyamanan bagi siswa dilingkungan sekolah bukan hanya fasilitas ruang yang lengkap, ataupun gedung yang megah. Tapi kenyamanan beraktifitas, mengeksplor, mengembangkan kreatifitas dan dukungan dalam berkreatifitas inilah yang sangat dibutuhkan siswa.
Bagaimana nasib anak-anak kelak ?
Seharusnya kita pahami bahwa perjuangan anak tumbuh seiring dengan pengakuan dari hak asasi dan pola pikir anak untuk tumbuh kembang. Sebenarnya anak tidak menginginkan suatu penghargaan, tapi yang anak inginkan adalah kepercayaan, bahwa anak mampu menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun sistem yang dianut dalam praktiknya, Dorongan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari suatu kegiatan, sebagai kebutuhan individual mereka mampu mengalahkan segalanya. Walaupun harus mengesampingkan hak-hak anak. Dengan prinsip didunia tidak ada yang gratis mampu menggeser nilai-nilai luhur dalam dunia pendidikan. Apalagi globalisasi yang dimotivasi memaksa manusia untuk kreatif demi mendapatkan laba. Tentu saja siswa dalam posisi lemah secara fisik, sosial dan mental menjadi pilihan alternatif untuk mencapai apa yang mereka inginkan.
Kondisi ini juga diperkeruh dengan adanya apresiasi budaya dan agama yang menterjemah hubungan siswa dengan guru, dimana guru adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mendidik anak disekolah agar nanti kelak bias berguna bagi nusa dan bangsa,dan Pendapat guru lebih bisa apapun dari siswa diterjemahkan dengan salah, sehingga guru berhak melakukan apapun terhadap anak didiknya dengan alasan “Demi masa depan anak” , padahal dalam hal-hal tertentu anak lebih berkompeten dari pada orang dewasa. Karena dalam hal tertentu pula anak lebih mampu bekerja.
Disamping itu belum bisa terjawab teka-teki yang membelenggu di UUPA. Apakah UUPA mampu berperan dan memproses? Sebuah awal kata yang indah tatkala semua harapan yang selama ini di agung-agungkan dan diharap-harapkan oleh semua anak sekolah hanyalah mimpi-mimpi semu yang hanya lewat didepan pintu akal mereka. UUPA yang katanya telah memiliki eksistensinya yang besar untuk melindungi anak ternyata belum dirasakan oleh sebagian besar anak khususnya anak sekolah (Pelajar). Bukan fasilitas mewah dalam pendidikan yang sebenarnya kita harapkan tapi kebebasan, kepercayaan, dan mengembangkan kreasi yang juga menjadi harapan kami agar kedepanya nanti dalam berkreasi kita tidak hanya memikirkan seberapa besar materi yang kita dapat tapi kepuasan menjadi salah satu keinginan kami.
UUPA (dibaca: Undang-Undang Perlindungan anak) Sebagai panutan dan harapan anak Indonesia diharapkan mampu membawa realisasi dari mimpi-mimpi nyata untuk melindungi pola pikir anak seiring dengan perjalanan waktu.
Selain itu, Guru yang seharusnya mendukung dan membantu dalam pembinaan anak didiknya ternyata telah mengalami kesurutan. Nurani seorang guru harusnyalah tidak hanya mengajarkan ilmu pada siswanya tapi juga mendidik mereka agar memiliki mental yang bagus sebagai penerus bangsa. Guru yang mempunyai nurani tidak akan pernah mematahkan semangat siswanya dalam berkarya. Justru dukunganlah yang diberikan kepada siswanya agar suatu pekerjaan bisa diselesaikanya dengan baik dan memuaskan untuk ukuran pelajar. Sebenarnya disemua jenis kegiatan apapun apabila terjadi keseimbangan antara kerjasama guru dengan siswa pastilah kegiatan tersebut akan sukses besar dibelakangnya. Tapi sayang disuatu ketika guru terlalu turun tangan. Tapi disisi lain ada juga kegiatan yang seharusnya milik dan garapan guru ternyata juga di Cancut tali Wondo oleh siswa dan tetap siswa yang dipersalahkan bila ada kekeliruan dalam kegiatan mereka. Memang cukup ironis ketika guru yang seharusnya memberikan masukan, dukungan, dan dorongan untuk perubahan yang lebih baik kepada anak didiknya ternyata kurang dirasakan sumbang sihnya. lalu Sejauh Apa Peranan Guru di Sekolah ? Cuma sekedar mentransfer ilmu atau masih ada peranan yang lain......................?
Oleh :
Reni Magarista
SMK Negeri 1 Ponorogo
Kab. Ponorogo
Jawa Timur
Salah satu kalimat yang keluar dari mulut seorang Pembina kami. Salah seorang guru yang lumayan dihormati di sekolah ini.Tapi menurutku bukan kata-kata “Goblok” yang menyakitkan bagi kami. Kalimat “Kalau aku sih kecil untuk melakukan pekerjaan ini”. Kalimat inilah yang terasa begitu menyakitkan karena seolah-olah apa yang kita kerjakan selama ini tidak ada harganya sama sekali dihadapan beliau. Kalau dilihat tingkat intelektual kami yang masih dini, hasil yang kita dapati sudah sangat memuaskan. Tentunya tidak akan bisa disamakan dengan beliau yang sudah mempunyai tingkat intelektual jauh diatas kami.Bahkan ketika rapat koordinasi sebuah kegiatan yang sebentar lagi akan diselenggarakan di sekolah kami sebagai perayaan HUT sekolahku. Kegiatan ini merupakan gabungan panitia dari guru dengan panitia anak OSIS.
Saat itu dengan cuaca yang sangat panas karena matahari tepat diatas ruangan tempat kami rapat.AC pun serasa tidak mampu mendinginkan ruangan.Selain itu perdebatan-perdebatan kecilpun sering terjadi ketika rapat tersebut berlangsung.Hingga kalimat itu keluar dari mulut presidium rapat yang mampu membungkam mulut kami dengan seketika. Pandangan dan tatapan mata kami kosong menerawang dan menatap Beliau yang ada di depan,hati kami bagaikan teriris-iris setelah mendengar kalimat itu. Semangat kami yang membara bagaikan api yang membakar kayu bakar yang takkan pernah padam terus membara.Tapi sayang semua ini tinggal kenangan perjuangan yang selama Ini kami agunu-agungkan.Yang kami banggakan telah sirna dalam sekejap, hanya rasa kecewa yang kami rasakan sekarang.Tapi dengan penuh rasa hormat kami pun ikuti perintah Beliau walaupun hati kami sebenarnya menolak. Padahal ketika OSIS menggelar kegiatan yang lumayan cukup besar untuk ukuran Kab. Ini, kondisi dikepanitiaan siswa tidak serumit ketika bergabung dengan panitia Guru. Ketika kegiatan sepenuhnya dihendel dari siswa, kami bisa mengeksploritasi dan mengembangkan kreasi kami tanpa ada beban berurusan dengan pihak selain panitia siswa.
Cerita di atas merupakan sedikit gambaran kekerasan yang terjadi dalam pendidikan, kekerasan yang dilakukan bukan secara fisik tapi kekerasan perasaan yang dilakukan oleh guru kepada siswa dalam kegiatan kesiswaan. Ironis memang seharusnya siswa diberi kebebasan untuk mengeksplor kreatifitas dan berekspresi sesuai dengan daya pikir dan kehendak siswa yang mereka inginkan Tapi, ketika guru ikut turun tangan seakan-akan kelihatan bahwa guru masih menyetir pikiran siswa. Padahal porsi mereka adalah sebagai panitia pendamping siswa, dan bukan menggantikan kepanitiaan siswa.Porsi yang seperti inilah yang saya anggap menyalahi aturan karena pada akhirnya bukan penyelesaian masalah yang didapat siswa tapi masalah baru dengan panitia pendampinglah yang didapat siswa. Bukankah ini membuat siswa menjadi tidak fokus pada kegiatan yang sedang dikelolanya.
( “Memainkan alat seperti ini sangat mudah bagiku, tidak perlu mengadakan kegiatan pelatihan yang 2 hari itu” ) Kalimat semacam inilah yang justru sangat mudah mematahkan semangat dari anak, karena mental anak masih mudah turun (down) serta minder. Padahal ketika ketika itu kami sedang serius-seriusnya latihan untuk menyiapkan pentas seni. Kalimat tersebut memang tidak kasar tapi bila dicermati kalimat inilah yang mematikan kreatifitas anak. Karena, tentunya memang beda tingkat kemampuan anak dengan orang dewasa. Kita misalkan Orang dewasa tidak akan langsung bisa tapi butuh proses menuju kemampuannya yang sekarang ini. Anak pun sama, untuk bisa berbicara lancar saja mereka melalui suatu tahapan satu demi satu. Melihat keseriusan masalah tersebut seharusnya anak patut kecewa, kondisi anak yang sudah mati-matian mengelola kegiatan yang menjadi komitmen bersama justru cercaan yang didapat. Memang kesadaran mengenai hak-hak anak dikalangan sekolah masih rendah bahkan masih banyak guru yang belum mengetahui tentang hak-hak anak dan keberadaan UUPA, bahkan diskriminasi pun sering terjadi di sekolah-sekolah . Sehingga menimbulkan rasa iri dan cemburu. Selain itu sering dijadikanya anak sebagai pelemparan kesalahan masih sering terjadi dilingkungan sekolah. Salah satu contohnya : disebuah kegiatan yang mengikutsertakan siswa dalam kepanitianya, Keterlambatan datangnya snack untuk konsumsi undangan, siswalah yang disalahkan. Padahal dari awal kami ketahui bahwa gurulah yang mengurusnya mulai dari pemesananan jenis snack dan jumlahnya.
Kejadian sepele seperti ini bisa menyebabkan orang-orang dewasa (guru) gagal dalam mengapresiasikan anak sebagai harapan bangsa dan memperlakukan anak sebagai objek dalam kehidupan sebagai pembantu dan patut dipersalahkan. Sebagai tempat pelampiasan ketidak puasan terhadap suatu kegiatan. Ya… haruslah kita maklumi bahwa banyak sekali kekerasan di Sekolah yang dilakukan oleh guru dengan cara halus. Dan kita ketahui bersama bahwa lembaga-lembaga nasional yang dibuat dan didirikan untuk melindungi hak anak-anak sekolah (pelajar) dan memperjuangkan nasib mereka, masih dapat dikatakan berjalan kurang maksimal. Hal ini bisa disebabkan karena minimnya sosialisasi tentang hak-hak anak. Bahkan dilingkungan pendidikan sendiri masih minim informasi tentang hal ini. Sehingga terjadilah kejadian-kejadian yang tidak memberikan rasa nyaman pada siswa semacam ini. Dan kenyamanan bagi siswa dilingkungan sekolah bukan hanya fasilitas ruang yang lengkap, ataupun gedung yang megah. Tapi kenyamanan beraktifitas, mengeksplor, mengembangkan kreatifitas dan dukungan dalam berkreatifitas inilah yang sangat dibutuhkan siswa.
Bagaimana nasib anak-anak kelak ?
Seharusnya kita pahami bahwa perjuangan anak tumbuh seiring dengan pengakuan dari hak asasi dan pola pikir anak untuk tumbuh kembang. Sebenarnya anak tidak menginginkan suatu penghargaan, tapi yang anak inginkan adalah kepercayaan, bahwa anak mampu menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun sistem yang dianut dalam praktiknya, Dorongan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari suatu kegiatan, sebagai kebutuhan individual mereka mampu mengalahkan segalanya. Walaupun harus mengesampingkan hak-hak anak. Dengan prinsip didunia tidak ada yang gratis mampu menggeser nilai-nilai luhur dalam dunia pendidikan. Apalagi globalisasi yang dimotivasi memaksa manusia untuk kreatif demi mendapatkan laba. Tentu saja siswa dalam posisi lemah secara fisik, sosial dan mental menjadi pilihan alternatif untuk mencapai apa yang mereka inginkan.
Kondisi ini juga diperkeruh dengan adanya apresiasi budaya dan agama yang menterjemah hubungan siswa dengan guru, dimana guru adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mendidik anak disekolah agar nanti kelak bias berguna bagi nusa dan bangsa,dan Pendapat guru lebih bisa apapun dari siswa diterjemahkan dengan salah, sehingga guru berhak melakukan apapun terhadap anak didiknya dengan alasan “Demi masa depan anak” , padahal dalam hal-hal tertentu anak lebih berkompeten dari pada orang dewasa. Karena dalam hal tertentu pula anak lebih mampu bekerja.
Disamping itu belum bisa terjawab teka-teki yang membelenggu di UUPA. Apakah UUPA mampu berperan dan memproses? Sebuah awal kata yang indah tatkala semua harapan yang selama ini di agung-agungkan dan diharap-harapkan oleh semua anak sekolah hanyalah mimpi-mimpi semu yang hanya lewat didepan pintu akal mereka. UUPA yang katanya telah memiliki eksistensinya yang besar untuk melindungi anak ternyata belum dirasakan oleh sebagian besar anak khususnya anak sekolah (Pelajar). Bukan fasilitas mewah dalam pendidikan yang sebenarnya kita harapkan tapi kebebasan, kepercayaan, dan mengembangkan kreasi yang juga menjadi harapan kami agar kedepanya nanti dalam berkreasi kita tidak hanya memikirkan seberapa besar materi yang kita dapat tapi kepuasan menjadi salah satu keinginan kami.
UUPA (dibaca: Undang-Undang Perlindungan anak) Sebagai panutan dan harapan anak Indonesia diharapkan mampu membawa realisasi dari mimpi-mimpi nyata untuk melindungi pola pikir anak seiring dengan perjalanan waktu.
Selain itu, Guru yang seharusnya mendukung dan membantu dalam pembinaan anak didiknya ternyata telah mengalami kesurutan. Nurani seorang guru harusnyalah tidak hanya mengajarkan ilmu pada siswanya tapi juga mendidik mereka agar memiliki mental yang bagus sebagai penerus bangsa. Guru yang mempunyai nurani tidak akan pernah mematahkan semangat siswanya dalam berkarya. Justru dukunganlah yang diberikan kepada siswanya agar suatu pekerjaan bisa diselesaikanya dengan baik dan memuaskan untuk ukuran pelajar. Sebenarnya disemua jenis kegiatan apapun apabila terjadi keseimbangan antara kerjasama guru dengan siswa pastilah kegiatan tersebut akan sukses besar dibelakangnya. Tapi sayang disuatu ketika guru terlalu turun tangan. Tapi disisi lain ada juga kegiatan yang seharusnya milik dan garapan guru ternyata juga di Cancut tali Wondo oleh siswa dan tetap siswa yang dipersalahkan bila ada kekeliruan dalam kegiatan mereka. Memang cukup ironis ketika guru yang seharusnya memberikan masukan, dukungan, dan dorongan untuk perubahan yang lebih baik kepada anak didiknya ternyata kurang dirasakan sumbang sihnya. lalu Sejauh Apa Peranan Guru di Sekolah ? Cuma sekedar mentransfer ilmu atau masih ada peranan yang lain......................?
Oleh :
Reni Magarista
SMK Negeri 1 Ponorogo
Kab. Ponorogo
Jawa Timur
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment